Merdeka.com - Masa kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 resmi dimulai, Kamis (15/2). Setelah dinyatakan lolos sebagai kontestan Pilkada, beberapa calon kepala daerah mulai berkampanye secara terbuka.
Calon Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menjalani hari perdana kampanye dengan cara unik. Suami artis Arumi Bachsin ini menyapa warga Trenggalek dari warung kopi ke warung kopi. Sementara Calon Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyapa warga kampung nelayan di Desa Kandang Semangkan Barok, Kecamatan Karang Asem, Kabupaten Lamongan. Sedangkan calon gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) bertandang ke pabrik rokok Toppas di Karang Ploso, Malang.
Kampanye hari pertama dimanfaatkan calon Gubernur Jawa Tengah nomor urut 2, Sudirman Said untuk mengunjungi korban banjir di Dukuhturi, Kecamatan Margadana, Kota Tegal. Sedangkan Calon Gubernur Jawa Tengah nomor urut 1, Ganjar Pranowo mengunjungi Dulur Ganjar Pati (DGP) di Langse, Banyuurip, Margorejo, Pati.
Calon Gubernur Sumatera Utara nomor urut 1, Edy Rahmayadi berkunjung ke pasar. Sedangkan pasangan nomor urut 2, Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus, memilih menyapa warga di warung makan.
Calon Gubernur Sulawesi Selatan nomor urut 1, Nurdin Halid mengisi hari pertama kampanye pemilihan gubernur 2018 dengan agenda konsolidasi. Calon-calon kepala daerah lainnya juga memulai kampanye dengan menyapa warga di wilayahnya.
Setiap masa kampanye tiba, beberapa lokasi selalu jadi favorit para calon kepala daerah. Mulai dari ziarah makam, pasar tradisional, perkampungan kumuh dan padat penduduk, kantong-kantong kemiskinan, hingga ke simpul-simpul atau kantong suara pendukung. Ada juga yang berkunjung dan menyapa warga di lokasi bencana. Tak jarang juga yang memanfaatkan tempat ibadah dan pondok pesantren sebagai salah satu lokasi kampanye terbuka.
Pengamat politik UIN Gun Gun Heryanto menganalisa kebiasaan kandidat selalu memilih kampanye di lokasi-lokasi tersebut. Ada tiga aspek yang bisa terbaca dari gaya dan pemilihan lokasi kampanye para kandidat kepala daerah. Aspek pertama adalah sosiologis. Ada keinginan calon kepala daerah dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang dituju saat kampanye.
"Proses seperti itu dimaknai, walaupun tidak selalu tepat. Kandidat harus datang ke tempat-tempat yang orang merasa kalau dia mengidentifikasi bagian dari mereka," ujar Gun Gun saat berbincang dengan merdeka.com, semalam.
Kampanye di pasar sebenernya tidak terlalu efektif mendulang suara. Bagi kandidat, model kampanye seperti itu hanya untuk bingkai pemberitaan media. Seolah mereka peduli. Apalagi pasar tradisional representasi kehidupan masyarakat kelas bawah.
Aspek kedua adalah yang bertujuan menyentuh psikologis. Biasanya para kandidat langsung mendatangi simpul dan kantong-kantong suara pendukung. Aspek ini bergantung pada kekuatan mesin partai untuk memengaruhi massa pendukung.
"Harapannya, ketika datang, Anda dianggap representasi dukungan partai maka saya akan dukung Anda. secara sederhana, kandidat akan banyak datang ke simpul-simpul partai."
Aspek ketiga adalah yang tujuannya rasional. Masih banyak pemilih rasional yang dukungan serta suaranya dalam pemilihan kepala daerah bisa berubah-ubah. Jika disurvei, mereka belum merepresentasikan kandidat tertentu.
Sejak dulu, kandidat kepala daerah cenderung memilih lokasi kampanye yang jadi simbol kerakyatan dan kepedulian. "Padahal orang sudah tahu pergi ke pasar itu semacam drama. Tidak terlalu menyumbang banyak dukungan dan suara," jelasnya.
Dia mengakui, kandidat yang memilih lokasi kampanye dengan sowan ke ulama atau berkunjung ke pondok pesantren, cukup masuk akal. Ini ada hubungannya dengan aspek struktur sosial tradisional masyarakat Indonesia.
"Dengan mengunjungi kiai dan nyai, jadi penarik suara. Apalagi di daerah yang basis santri kuat," jelasnya.
Sedangkan untuk kampanye dengan cara ziarah ke makam pahlawan, tokoh bangsa, ulama, dilakukan untuk memberi gambaran positif kandidat pada publik. Seperti halnya dengan kampanye kandidat saat mengunjungi korban bencana.
"Ini namanya memanfaatkan kejadian luar biasa. Dalam hal ini bencana. Kalau kandidat datang ke sana, biasanya selalu jadi berita. Itu politik ekologi, biasa dimainkan, di AS sekalipun," jelasnya.
Gaya dan lokasi kampanye tidak selalu efektif dalam mendulang suara. Gun Gun menyebut, kampanye yang paling efektif untuk mendulang suara adalah yang dilakukan dengan menyasar jaringan komunikasi warga. Misalnya ulama, tokoh adat, tokoh budaya dan tokoh masyarakat.
Kedua, kampanye dengan memanfaatkan publisitas. Maksudnya adalah kampanye alamiah. Dia mencontohkan saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atau Anies Baswedan yang tiba-tiba datang ke pernikahan warga.
"Ini akan menarik simpati dan perbincangan. Justru ini efektif."
Ketiga, gaya kampanye dengan meyakinkan orang atau organisasi yang bisa menjembatani antara kandidat dengan calon. Dia mencontohkan, NGO, ormas seperti NU atau muhammadiyah, asosiasi pedagang dan lain-lain. "Mereka yang bisa membawa basis suara. Penggeraknya organisasi atau kelompok itu," katanya.
Keempat adalah kampanye dengan komunikasi digital. Terutama di sosial media. "Ini efektif terutama di kota-kota yang melek teknologi." [noe]
Baca Lagi Dah https://www.merdeka.com/politik/ziarah-makam-pasar-dan-daerah-bencana-selalu-jadi-lokasi-andalan-kampanye-pilkada.htmlBagikan Berita Ini
0 Response to "Ziarah makam, pasar dan daerah bencana selalu jadi lokasi ..."
Post a Comment