Search

Biar kuat, pasar keuangan butuh instrumen baru

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski belakangan rupiah dalam tren pelemahan, Bank Indonesia (BI) yakin pelemahan yang terjadi belakan hanya bersifat sesaat.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi mengatakan, fluktuasi nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal. Data-data ekonomi Amerika Serikat, seperti inflasi dan upah buruh, serta perombakan kabinet jadi pemacu.

Prediksi pasar terkait The Fed yang akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga hingga empat kali di tahun ini, juga berimbas ke rupiah, serta mata uang negara-negara di dunia. Alhasil, pergerakan rupiah mengarah pada pelemahan.

"Usai pertemuan The Federal Open Market (FOMC) 21 Maret 2018, nilai tukar rupiah akan lebih stabil," ujar Doddy kepada KONTAN, Rabu (14/3).

Meski begitu, menurut Doddy, pasar valuta asing (valas) di Indonesia masih membutuhkan pendalaman. Salah satunya dengan memperbanyak instrumen pasar keuangan di dalam negeri. Ini penting agar dana-dana asing masuk ke pasar lokal. "Utamanya instrumen jangka panjang," ujar Doddy. Dengan begitu, pasar keuangan lebih likuid. .

Pasar keuangan yang likuidmemudahkan para investor menyesuaikan portofolio saat ada sentimen dari eksternal (luar negeri). Dengan begitu investor tidak akan buru-buru menarik dananya jika ada sentimen negatif.

BI menilai, pasar saham dan obligasi di Indonesia saat ini kurang likuid. Nilai kapitalisasi pasar masih lebih kecil dibandingkan Thailand dan Singapura (lihat tabel). Selain itu, instrumen investasi juga terbatas, yakni baru surat berharga negara dan saham.

Meski ada obligasi korporasi namun masih sedikit supply dan peminatnya."Dengan sedikit (instrumen), jika ada ketidakyakinan dengan Indonesia, dana asibg akan akan lari dari indonesia," ujarnya.

Pada perdagangan Rabu (14/3), dana asing yang keluar dari pasar keuangan tercatat Rp 597,07 miliar. Sejak awal tahun, dana asing telah keluar dari pasar modal sebanyak Rp 15,63 triliun. Di surat utang negara (SUN), pemilikan investor asing pun berkurang menjadi Rp 826,30 triliun pada Selasa (13/3), dari sehari sebelumnya Rp 828,88 triliun.

Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) BI mencatat kurs rupiah 14 Maret 2018 di level Rp 13.739 per dollar AS, menguat tipis dari sehari sebelumnya Rp 13.757.

Saat ini, menurut Doddy, pemerintah dan BI tengah merancang aneka instrumen untuk memperdalam instrumen itu, yakni lewat pembiayaan infrastruktur.

 

Instrumen baru

Tak hanya itu, pemerintah lewat Otoritas Jasa Keuangan juga tengah berupaya membuka akses lebih banyak investor lokal di pasar modal. Tak hanya kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, tapi warga di kota kecil dan kabupaten.

Pendalaman pasar diharapkan bisa mengurangi pembiayaan luar negeri. Kinerja ekspor didorong agar menghasilkan devisa bagi negara. "Kami mendorong transaksi berjalan terus turun defisitnya, kalau bisa jadi surplus seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Korea," jelas Doddy.

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kemkeu Scenaider Clasein Hasudungan Siahaan mengaku, tahun ini, pemerintah akan menambah instrumen baru yakni green sukuk bond dan SBN retail online. "Green sukuk bond sudah terbit US$ 1,25 miliar dan SBN ritel sedang dalam persiapan," ujarnya.

Pemerintah juga berharap otoritas moneter juga harus mendorong pelonggaran likuiditas rupiah dalam negeri. "Faktanya, dana transfer daerah masuk lagi ke bank-bank besar ke Jakarta," katanya.


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Ghina Ghaliya Quddus
Editor: Sanny Cicilia

MAKROEKONOMI

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Dah https://nasional.kontan.co.id/news/biar-kuat-pasar-keuangan-butuh-instrumen-baru-1

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Biar kuat, pasar keuangan butuh instrumen baru"

Post a Comment

Powered by Blogger.