Pertama kali datang ke pasar ini, anda harus antri di meja penukaran uang. Ya, uang kartal rupiah (uang kertas dan logam) tidak laku di dalam pasar. Jadi, sebelum masuk, Anda harus menukarkan uang dengan alat pembayaran setempat. Bentuknya persegi panjang kecil, berbahan bambu seukuran ibu jari, dengan tulisan nama pasar dan disebut sebagai Pring. Dengan Rp 2.000 Anda bisa memperoleh sekeping Pring.
Barang yang bisa Anda beli sangat bervariasi, mulai dari hewan peliharaan seperti marmut, aneka sayuran segar, produk kerajinan berbahan bambu, makanan dan minuman tradisional, hingga jasa potong rambut dan pijat. Penjual barang atau jasa akan meminta Pring kepada Anda. Rata-rata dua potong kue harganya 1 Pring, semangkuk makanan ringan dihargai 2 Pring, makanan berat dengan nasi 4 Pring, sedangkan pijat 13 Pring.
Konsep pasar ini dibuat oleh Singgih Susilo Kartono, desainer produk lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Meski menjadi salah satu desainer produk terbaik di Indonesia, Singgih memilih berkarya di desa kelahirannya, Kandangan di Temanggung, Jawa Tengah. Salah satu produknya yang sudah mendunia adalah Magno, radio berbahan baku kayu yang sangat terkenal di Jepang, Australia dan Eropa.
“Pasar ini, kata Singgih, tidak menjadikan kegiatan ekonomi sebagai tujuan utama. Pasar ini hadir untuk mengajak masyarakat kembali menghargai peran penting bambu dalam kehidupan sehari-hari.
"Papringan, area tempat bambu ini tumbuh, menjadi area yang rawan digusur, menjadi tempat membuat sampah bahkan buang air besar, dan gelap. Di sisi lain, saya melihat bambu ini material yang akan sangat berguna di masa depan. Problem terbesarnya adalah ada persepsi yang salah terhadap bambu dari masyarakat. Ini berbahaya. Bambu itu salah satu bagian terpenting dari lanskap lingkungan, lanskap sosial dan lanskap kultural dari desa,” kata Singgih
Pasar Papringan Ngargopuro, memiliki nama sesuai tempatnya. Papringan dalam bahasa Jawa bermakna kebun bambu, dan Ngargopuro adalah dusun dimana kebun bambu ini berada.
Sebagai desainer, Singgih tidak begitu saja membuka pasar ini. Dia memulainya dengan masa persiapan selama empat bulan. Lokasinya dibersihkan tanpa merusak rumpun bambu, area dipisah sehingga terdapat kawasan permainan anak, area tengah yang luas, tempat berjualan tertata rapi, dan akses yang mudah.
Makanan yang disajikan, busana pedagang, alat berjualan juga diatur dengan detil untuk menghadirkan kesan pasar pedesaan Jawa di masa lalu.
Paling penting, kata Singgih, adalah penyiapan sumber daya manusia. “Kami mengevaluasi setiap kegiatan selesai. Seluruh pedagang harus ikut. Staf saya juga masih tinggal disini untuk mendampingi masyarakat. Kami tidak membuat sebuah desa wisata, ini adalah pendekatan yang berbeda dalam upaya pemberdayaan masyarakat,” ujar Singgih.
Sebagai acara kampanye penyadaran pentingnya bambu bagi kehidupan, pasar ini tidak setiap minggu dibuka.
Seingat Singgih, sejak dibuka 14 Mei 2017 hingga pertengahan Januari 2018, baru 13 kali Pasar Papringan diselenggarakan. Jadwal terdekat adalah 28 Januari dan disusul kemudian pada 18 Februari 2018. Rata-rata, 5 ribu pengunjung hadir setiap Pasar Papringan diselenggarakan. Tidak hanya datang dari Temanggung, tetapi juga kota-kota lain di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sejumlah wisatawan mancanegara juga terlihat.
Sekitar 80 warga setempat membuka lapak di pasar tersebut. Warto salah satunya, tuna netra yang menawarkan jasa pijat. Tak perlu sungkan dipijat di tengah pasar, karena justru akan menjadi pengalaman tak terlupakan.
“Saya selalu ikut disini, kadang sehari dapat tiga sampai empat orang yang pijat. Tidak usah pakai menawarkan jasa, kalau orang lewat dan lihat saya duduk disini, yang pengen pijat pasti mampir,” kata Warto yang membuka lapak persis di samping jasa potong rambut.
Dengan desain lanskap yang bagus, pengunjung bahkan mungkin tidak sadar bahwa mereka berada tepat di samping makam desa setempat. Di pedesaan Jawa, kebun bambu memang identik dengan wilayah kumuh yang ditinggalkan dan dihindari.
Singgih berharap kebun bambu kembali dijadikan area aktivitas masyarakat di manapun, dan begitu pula bambu tidak identik lagi sebagai bahan bangunan yang murah dan miskin. Masyarakat harus memahami bahwa bambu adalah bahan berkualitas, mudah tumbuh, penghasil oksigen yang besar, dan dengan demikian punya peran secara ekonomi dan lingkungan sekaligus.
Danu Wiratmoko, pengunjung asal Magelang, Jawa Tengah mengaku, Pasar Papringan ini sudah menang di konsep. Di tangan seorang desainer seperti Singgih, kebun bambu itu menjadi hidup.
“Kalau melihat dari visi penyelenggaraanya bagus, karena memang untuk pemberdayaan masyarakat. Saya baru pertama kali datang, kalau penasaran sudah lama. Begitu melihat di sini, rasanya takjub. Menurut saya yang mahal ini konsepnya, kalau lokasi seperti ini di mana saja bisa. Konsepnya untuk menjual barang-barang tradisional dan makanan tradisional mampu membuat orang kembali ke jati dirinya,” kata Danu.
Pasar Papringan Ngargopuro, yang dikonsep dengan rapi, adalah upaya mengajak masyarakat kembali beraktivitas di kebun bambu. Singgih mempersilahkan jika konsep ini menjadi inspirasi di tempat lain. Namun dia mengingatkan bahwa ide ini tidak dapat begitu saja diterapkan di lokasi lain tanpa pendekatan mendalam atas potensi lokal yang ada. Dia juga mengingatkan tentang pentingnya menghargai kreativitas para konseptor awalnya.
Baca Lagi Dah https://www.voaindonesia.com/a/pasar-uang-rupiah-dan-upaya-revitalisasi-bambu/4209654.htmlBagikan Berita Ini
0 Response to "Pasar Tanpa Uang Rupiah dan Upaya Revitalisasi Bambu"
Post a Comment