Tahun 2017 telah berlalu. Ada sehimpun kegagalan yang patut dijadikan pelajaran berharga. Ada pula sejumlah prestasi yang menumbuhkan kepercayaan diri untuk menatap 2018. Walhasil, tahun ini bisa dipandang sebagai periode pemulihan tapi bisa pula menjadi periode yang sarat dengan tantangan.
Di sektor keuangan, misalnya, hingga medio Desember 2017, nilai total dana yang berhasil dihimpun dari aksi korporasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai Rp 248,19 triliun, melampaui target awal Rp 217,02 triliun atau menanjak 27 persen dibanding tahun lalu. Pertumbuhan agresif pasar modal terlihat pula dari kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) yang meningkat. Tahun lalu, IHSG menembus level psikologis di atas 6.000. Dengan kinerja positif itu, BEI menjadi salah satu pasar modal yang paling menjanjikan di dunia.
Kecemerlangan di pasar modal sepertinya berbanding terbalik dengan kondisi perekonomian nasional yang sedang lesu. Perekonomian pada kuartal III 2017, misalnya, tumbuh 5,06 persen, tidak jauh berbeda dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan I dan II yang masing-masing mandek di level 5,01 persen.
Laju pertumbuhan konsumsi juga melorot. Selama periode yang sama, pertumbuhan konsumsi melemah, dari 4,95 persen menjadi 4,93 persen secara tahunan. Dengan kontribusi 55 persen terhadap permintaan agregat, perlambatan konsumsi pada era inflasi rendah menjadi isyarat awal stagnasi ekonomi.
Maka, kinerja pasar modal menyisakan tanda tanya besar. Lazimnya, pasar modal sangat dinamis tatkala perekonomian tumbuh mengesankan. Demikian pula sebaliknya. Krisis ekonomi 1997 dan 2008 menjadi bukti sahih atas korelasi yang kuat antara pasar modal dan kondisi perekonomian.
Secara teoretis, pasar modal adalah media pertemuan antara permintaan dan penawaran. Pembelinya adalah perusahaan yang memerlukan dana untuk ekspansi usaha. Penjualnya adalah investor. Hasil interaksinya, perusahaan memperoleh sejumlah dana dan investor mendapat tanda bukti surat utang (saham atau obligasi).
Faktanya, hingga pekan kedua Desember 2017, dana yang terkumpul dari penawaran perdana (initial public offering) justru turun menjadi Rp 9,49 triliun atau menyusut sekitar 21,38 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Kinerja pasar modal yang kemilau agaknya terdorong dari aktivitas pasar sekunder. Transaksi pasar sekunder terjadi antara pemegang surat utang dan calon pembeli, alih-alih antara calon debitur dan investor sebagaimana di pasar primer.
Sesuai dengan hukum pasar, harga surat utang naik saat permintaan tinggi. Kenaikan permintaan didorong oleh jumlah pemain pasar. PT Kustodian Sentral Efek Indonesia mencatat, pelaku pasar modal Indonesia sebanyak 1,11 juta orang per 20 Desember 2017, meningkat 25,24 persen dibanding November 2016.
Meski demikian, angka itu masih perlu ditelusuri lebih lanjut: berapa investor tulen, sebatas pedagang (trader), atau malah hanya spekulan. Konon, jumlah investor tulen hanya sekitar 200 ribu orang. Investor ini tipikal menaruh perhatian pada faktor-faktor fundamental. Mayoritas sisanya adalah pedagang dan spekulan (termasuk pemain asing) yang lebih banyak dimotivasi oleh kemungkinan selisih antara harga beli dan harga jual. Karena itu, masuk akal jika pergerakan IHSG bisa melejit pada saat faktor-faktor fundamental tidak terlalu mendukung.
Perlu dicatat pula, kenaikan harga saham dan obligasi yang tinggi tidak membawa imbas finansial apa pun (berupa kas atau laba) terhadap emiten yang bersangkutan. Dengan demikian, faktor fundamental kadang gagal menjelaskan pergerakan harga saham.
Walhasil, anomali pasar modal tidak hanya terkait dengan isu waktunya, tapi juga soal angka. Sebagai pembanding, industri perbankan- yang sama-sama tempat pertemuan permintaan dan penawaran dana- menyalurkan kredit Rp 4.605 triliun sampai November 2017 atau hanya tumbuh 7,4 persen secara tahunan.
Ironisnya, lebih tingginya pertumbuhan penghimpunan di pasar modal (27 persen) dibanding pertumbuhan kredit perbankan (7,4 persen) diklaim sebagai catatan sejarah baru dalam blantika pasar keuangan Indonesia. Artinya, nilai kredit perbankan Rp 4.605 triliun seakan "kalah" dengan dana pasar modal Rp 248,19 triliun.
Kedua isu di atas membawa pada persoalan yang jauh lebih hakiki, yakni inklusi keuangan. Sebagian besar pelaku ekonomi di Tanah Air adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sektor ini sama sekali tidak berhubungan dengan pasar modal tapi mampu menyerap 45 juta orang atau 99 persen lapangan kerja industri manufaktur. Karena itu, UMKM menyimpan potensi mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan meningkatkan momentum pemulihan ekonomi.
Mendorong UMKM, terutama yang berbadan hukum koperasi, masuk pasar modal tampaknya menjadi kunci untuk menghindari anomali. Dengan cara ini, kinerja pasar modal akan mencerminkan prestasi riilnya.
Anomali, dan bahkan paradoks, pasar modal sejatinya terjadi karena ada semacam ketidaksinambungan antara aspek makro dan unsur mikro. Integrasi pelaku ekonomi mikro ke ranah makro niscaya membuat pertumbuhan ekonomi semakin berkualitas.
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Paradoks Pasar Modal"
Post a Comment