Setelah sebelumnya menetapkan belasan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malang sebagai tersangka korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan tersangka kasus korupsi berjamaah yang dilakukan anggota legislatif di daerah.
Kali ini, sebanyak 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumatra Utara menjadi tersangka korupsi oleh pada Kamis (29/03) lalu. Mereka diduga menerima suap berupa hadiah atau janji dari mantan Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, memandang dua kasus korupsi berjamaah ini menunjukkan model hubungan kolusi antara pemimpin daerah dan anggota dewannya, dengan hubungan yang berlangsung adem ayem, tapi sesungguhnya seperti 'pasar gelap kekuasaan'.
"Mereka berkongkalikong, bahkan bersengkongkol untuk merampok uang negara tapi dengan cara-cara yang tidak terlihat di permukaan," ujar Robert kepada BBC Indonesia.
Dia mencontohkan, mantan Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho yang dinilai berhasil meredam dinamika politik di daerahnya: "Namun bukan karena kemampuan dia untuk meyakinkan DPRD dengan program berkualitas, melainkan dengan menyuap atau menyogok anggota DPR."
"Sama seperti yang terjadi di kota Malang, sudah disahkan APBD tapi sudah dialokasikan proyek-proyek yang nantinya ketika APBD dijalankan anggota APBD bisa mendapat jatah proyek itu," imbuh Robert.
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, berpendapat peluang kolusi itu terjadi sebaga imbas dari otonomi daerah, dengan banyaknya kewenangan yang kemudian disematkan kepada kepala daerah dan DPRD, termasuk soal anggaran.
"Alih-alih membahas bersama demi kemakmuran rakyat kadang-kadang mereka membahas bersama dalam rangka merumuskan siapa yang akan mendapatkan proyek, karena kemudian mereka juga sudah menjanjikan sesuatu ketika pilkada," ujar Zainal.
Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta para kepala daerah untuk belajar dari kasus korupsi yang menjerat puluhan anggota dan mantan anggota DPRD Sumatra Utara.
Dia meminta para kepala daerah untuk tidak main-main ketika menyusun anggaran dengan DPRD.
"Termasuk dewan harus mengikuti aturan dan mekanisme dalam merencanakan dan memastikan sebuah program daerah yang dianggarkan lewat APBD," ujar Tjahjo.
Menerima hadiah dan janji
Seperti diketahui, 38 anggota DPRD Kota Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (29/03) lalu.
Mereka diduga menerima suap berupa hadiah atau janji dari mantan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, terkait fungsi dan kewenangan mereka sebagai anggota dewan di periode tersebut.
KPK sudah mengeluarkan surat pada 29 Maret 2018, yang ditujukan kepada Ketua DPRD Provinsi Sumut berupa pemberitahuan penyidikan oleh KPK mengenai dugaan tindak pidana korupsi oleh para anggota DPRD Sumut.
Dalam surat itu dilampirkan nomor surat perintah penyidikan (sprindik) per tanggal 28 Maret 2018.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun suap pembahasan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumatera Utara 2014 yang menggiring Gatot Pujo Nugroho ke bui menjerat 13 orang lainnya dan telah divonis bersalah.
Adapun Gatot divonis empat tahun penjara pada Maret 2017 lantaran terbukti menyuap pimpinan dan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019 senilai Rp 61,8 miliar.
Hingga 29 Januari 2018, KPK telah memeriksa 46 anggota DPRD Sumatera Utara, yang mulai telah dilakukan KPK sejak 2015 lalu.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, memastikan akan mempercepat penanganan perkara Gatot.
Dia juga mengatakan penanganan kasus yang melibatkan puluhan nama anggota dewan tak akan menggangu kinerja di DPRD Sumut dan pemerintah bisa segera mengganti para anggota DPRD jika terjerat sebuah kasus.
Pilkada menjadi penyebab korupsi?
Sebelumnya, banyak kalangan yang menduga kasus korupsi penyalahgunaan APBD yang banyak terjadi di daerah berkaitan dengan kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada).
Indonesian Corruption Watch mencatat modus korupsi terbanyak pada 2017 adalah penyalahgunaan anggaran yang mencapai 154 kasus dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,2 triliun.
Namun, Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng, tidak sepakat bahwa kontestasi pemilihan kepala daerah dan otonomi daerah menjadi penyebab korupsi.
"Yang terjadi sesungguhnya elit politik membajak atau melihat pilkada sebagai pintu masuk untuk korupsi. Jadi momentumnya pilkada, tapi bukan pilkada yang menyebabkan korupsi," jelas Robert.
Korupsi berjamaah yang terjadi, menurut dia, lantaran sistem yang sudah terlanjur korup.
"Hulu dari korupsi kita adalah korupsi kekuasaan, korupsi politik dan adanya di partai politik yang memang sangat terbatas sumber pembiayaannya membuat kemudian para kader mereka yang di DPR dan DPRD menjadi operator partai untuk melakukan mobilisasi pengumpulan dana bagi partai," imbuh Robert.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan tak pernah bosan mengingatkan agar pemangku kebijakan, termasuk DPRD untuk memahami area rawan korupsi. Salah satunya adalah masalah perencanaan dan penyusunan anggaran.
Menurut dia, sudah banyak contoh kasus korupsi di sektor ini dan seharusnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pihak yang berkepentingan.
"Sedikit ada penyimpangan apalagi ada penyalahgunaan, apalagi ada pembagian, pasti terbongkar sebagaimana yang dialami oleh teman-teman teman Pemda dan DPRD di Sumut," ujar Tjahjo.
Namun Zainal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada menjelaskan kongkalikong antara kepala daerah dan anggota dewan terjadi lantaran aturan pembahasan yang 'menghimpit' mereka
"Aturan pemda mengatakan kalau pembahasan anggaran tertunda, itu yang kena hukuman adalah aparat pemerintah daerah. Nah ini membuat mereka [berpikir] daripada berdebat substansi lama soal anggaran mending sahkan saja, atau bayarin saja anggota DPRD-nya supaya mereka tidak mempersoalkan pembahasan anggaran," kata dia.
"Artinya peluang korupsi di daerah memang banyak sekali dan membuat mereka mau menjual kewenangan itu atau mengatur himpitan tadi. Daripada kena denda,mending mereka menyawer anggota DPRD supaya jauh lebih mudah pembahasan anggaran," tambah Zainal.
Baca Lagi Dah http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43611177Bagikan Berita Ini
0 Response to "Korupsi massal di Sumut: 'kongkalikong' dan 'pasar gelap kekuasaan'"
Post a Comment