Search

Angin Surga dari Eropa Siap Lambungkan Pasar Indonesia?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis, tetapi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat dan imbal hasil (yield) obligasi negara bergerak turun. 

Sepekan lalu, IHSG melemah 0,1% secara point-to-point. Meski IHSG menguat dalam 2 hari terakhir di pekan lalu, koreksi di 2 hari sebelumnya tidak mampu tertutupi.  

Berita baiknya, performa mingguan IHSG masih menjadi salah satu yang terbaik di Asia, bersama-sama dengan Nikkei 225 yang juga terkoreksi 0,1%. Secara mingguan, Straits Time anjlok 1%, KLCI (Malaysia) terkoreksi 0,62%, SET (Thailand) turun 0,79%, Shanghai Composite amblas 3,72%, Hang Seng melemah 0,98%, dan Kospi ambrol 1,67%. 


Sedangkan rupiah menguat 0,49% secara mingguan. Rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari rupee India. 

Nasib mata uang utama Asia lainnya tidak seberuntung rupiah dan rupee. Selama sepekan terakhir, dolar Singapura melemah 0,22%, ringgit Malaysia melemah 0,12%, yen Jepang melemah 0,12%, yuan China melemah 0,16%, dolar Taiwan melemah 0,01%, baht Thailand terdepresiasi 0,73%, dan won Korea Selatan anjlok 1,08%.

 
Perekonomian global yang sedang berisiko tinggi membuat investor untuk sementara bermain aman. Instrumen berisiko di negara berkembang mengalami tekanan jual, dan pelaku pasar ramai-ramai berburu dolar AS atau obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.  

Sepekan lalu, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,47%. Sedangkan yield obligasi pemerintah AS seri acuan tenor 10 tahun turun 2 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. 

Risiko besar bagi bursa saham global adalah hubungan AS-China yang kembali memanas. Diawali oleh kegagalan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) mencapai komunike dalam KTT di Papua Nugini pada akhir pekan lalu.  

China dan AS saling jegal dalam perumusan naskah kesepakatan bersama, hasilnya adalah deadlock. China menuding AS memaksakan kehendak dan ingin membenarkan perilaku proteksionistis menjadi salah satu poin dalam komunike APEC. Sementara AS menuduh 20 dari 21 negara APEC sudah sepakat dengan komunike, hanya China yang belum bersedia dan membuyarkan semuanya. 


Friksi kian menjadi kala Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) melaporkan bahwa China masih belum melakukan reformasi ekonomi dengan sungguh-sungguh. Menurut Washington, Beijing gagal menekan praktik perdagangan tidak sehat seperti pencurian hak atas kekayaan intelektual atau pembatasan pemberian izin di bidang teknologi kepada pelaku usaha asing. 

China panas, tidak terima dengan tuduhan itu. Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, menegaskan bahwa tuduhan AS sama sekali tidak berdasar.  

Friksi AS-China yang kembali muncul meredupkan harapan pasar. Jika tensi masih tinggi seperti sekarang, jangan-jangan pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 nanti tidak menghasilkan apa-apa?   

Tanda tanya besar masih menyelimuti hubungan dagang AS-China. Artinya masih ada satu ketidakpastian besar yang bisa menjadi sentimen negatif yang menghancurkan mood pelaku pasar. Hasilnya adalah investor cenderung bermain aman dan memilih memegang aset safe haven.  

Selain itu, koreksi harga minyak mentah dunia pun jadi pemberat bursa saham global. Secara point-to-point, harga minyak jenis brent amblas 11,91% sementara light sweet jatuh 10,69% sepanjang pekan lalu. Harga si emas hitam menyentuh titik terendah sejak Oktober 2017. 


Koreksi harga minyak membuat saham-saham emiten energi kurang diapresiasi. Di Indonesia, harga saham MEDC amblas 7,28%, ELSA anjlok 5,36%, dan ENRG jatuh 1,17% dalam sepekan terakhir. Indeks sektor pertambangan pun jeblok 7,01% dan membebani IHSG secara keseluruhan. 

Namun, koreksi harga minyak justru menjadi berkah buat rupiah. Status Indonesia sebagai negara net importir migas membuat beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) semakin berat kala harga minyak naik.  

Ketika harga minyak turun, biaya impor juga akan menurun. Artinya beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan berkurang, sehingga jumlah devisa yang 'terbang' akibat impor minyak ikut menurun. Ini akan menjadi modal bagi rupiah untuk lebih stabil, bahkan bukan tidak mungkin terus menguat.  

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

(aji/aji)

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Dah https://www.cnbcindonesia.com/market/20181126051459-17-43612/angin-surga-dari-eropa-siap-lambungkan-pasar-indonesia

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Angin Surga dari Eropa Siap Lambungkan Pasar Indonesia?"

Post a Comment

Powered by Blogger.