Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan ekspor sawit termasuk biodiesel dan oleokimia pada periode September 2018 turun 3% menjadi 3,2 juta ton dari bulan sebelumnya yang tercatat 3,3 juta ton.
Penurunan ekspor sawit ke pasar tradisional akibat daya beli pasar pasar yang melemah menyebabkan ekspor komoditas sawit Indonesia secara keseluruhan menurun.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menyatakan pasar minyak sawit sedang tidak bergairah meskipun harga sawit rendah. "Produksi minyak sawit yang meningkat terutama di Indonesia dan Malaysia semakin memperburuk situasi sehingga stok menumpuk di dalam negeri," kata Mukti dalam keterangan resmi, dikutip Senin (12/11).
Harga minyak nabati lain seperti kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari yang juga sedang rendah nyatanya justru dianggap lebih lebih menarik oleh importir. Harga kedelai jatuh pada level terendah sejak tahun 2007 karena perang dagang Tiongkok dan Amerika Serikat. Selain itu, Argentina sebagai salah satu negara penghasil kedelai terbesar ikut mengurangi pajak ekspor kedelai guna menarik pembeli.
(Baca: B20 Topang Kenaikan Serapan Sawit 39% per September 2018)
Mukti mengungkapkan ekspor ke India sebagai pasar terbesar minyak sawit mencapai 779,44 ribu ton, pada September turun 5% jika dibandingkan Agustus yang mencapai 823,34 ribu ton. Karena itu Gapki meminta pemerintah memberikan perhatian khusus kepada India terutama terkait hambatan tarif bea masuk.
Gapki melihat ada potensi peningkatan permintaan sawit terlebih setekah pemerintah India merilis kebijakan biofuel dengan target pencampuran bensin 20% untuk etanol dan 5% pencampuran solar untuk biodiesel pada 2030. "Kebijakan ini tentunya membuka peluang pasar lebih besar kepada Indonesia untuk memenuhi pencampuran biodiesel berbasis sawit," ujar Mukti.
Namun, dia mengingatkan peluang ekspor sawit ke India bisa tergerus oleh Malaysia akan menikmati pengurangan tarif bea untuk CPO dan produk olahannya masing-masing 5% karena Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) yang mulai 1 Januari 2019. Indonesia juga harus meningkatkan perdagangan baik melalui perjanjian bilateral atau perjanjian perdagangan khusus (PTA).
Selain India, ekspor juga tercatat menurun ke pasar Tiongkok sebesar 25%, Pakistan mencapai 24%, AS sebesar 50%, dan ekspor ke Timur Tengah anjlok 21%. Sebaliknya, peningkatan ekspor sawit terjadi ke Uni Eropa sebesar 16%, Bangladesh naik 155%, dan negara Afrika mencapai 47%. (Baca: Penerapan B20 Pangkas Impor Solar 4 Ribu Kiloliter per Hari)
Peningkatan ekspor terjadi setelah karena pada bulan sebelumnya ada penurunan, di samping karena panen rapeseed dan bunga matahari sudah berakhir di Eropa dan mulai masuk musim dingin. Khusus untuk produk RBD Palm Olein atau minyak goreng, ekspor ke negara Afrika terus mengalami kenaikan secara konsisten setiap bulannya.
"Negara Afrika memiliki potensi besar untuk menjadi pasar utama minyak goreng jika pemerintah dapat memberikan insentif melalui pengurangan pungutan untuk ekspor minyak goreng dalam bentuk kemasan," katanya.
Gapki mencatat, sepanjang September 2018, produksi sawit mencapai 4,41 juta ton atau naik sekitar 8,5% dibanding Agusts yang mencapai 4,06 juta ton. Peningkatan produksi sawit terjadi seiring dengan mulai masuknya siklus tinggi musim panen tahunan sawit di beberapa wilayah. Dengan meningkatnya produksi sawit dan ekspor terpantau stagnan mengakibat stok minyak sawit meningkat hingga 4,6 juta ton.
Dengan stok minyak sawit yang berlebih, harga sepanjang September bergerak pada kisaran US$ 517.50 – US$ 570 per metrik ton dengan rata-rata US$ 546.90 per metrik ton. Menurutnya, harga tersebut merupakan level terendah sejak Januari 2016.
Reporter: Michael Reily
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Permintaan Pasar Tradisional Berkurang, Ekspor Sawit Tertekan"
Post a Comment