Ashmore: Kinerja Pasar Modal Indonesia Tetap Kuat
JAKARTA- Tahun 2018 bukanlah tahun yang mudah untuk berinvestasi di Indonesia. Banyak investor yang mempertimbangkan kemungkinan bahwa ekonomi global akan melambat karena dampak perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Namun, catatan akhir tahun yang dirilis PT Ashmore Asset Management Indonesia mengungkapkan, Indonesia berhasil mematahkan kutukan krisis 10 tahunan yang diekspektasikan oleh sejumlah pihak akan terjadi tahun 2018. Prestasi ini berkat kebijakan fiskal dan moneter yang kredibel dan bijaksana oleh pemerintah.
Dalam catatan akhir tahun tersebut dipaparkan, sepanjang 2018 pasar modal emerging market, termasuk Indonesia mengalami kemunduran, tetapi masih menunjukkan kinerja yang kuat selama tiga tahun terakhir. Kemunduran tersebut karena kebijakan pemotongan pajak perusahaan besar dan penerapan tarif impor di AS. Kebijakan Presiden AS, Donald Trump tersebut menyebabkan kenaikan tajam dolar AS, meskipun hanya temporer, namun pada gilirannya berdampak buruk terhadap sentimen dan kinerja obligasi emerging market atau negaranegara berkembang.
Sebenarnya, pemerintah AS memotong pajak dan menaikkan tarif impor dirancang untuk membantu Partai Republik dalam pemilihan jangka menengah pada November 2017 lalu, tetapi tidak memberi dukungan jangka panjang untuk dolar AS. Faktanya, pengalaman menunjukkan bahwa hadiah fiskal terkait pemilu biasanya meningkatkan ketidakstabilan ekonomi makro. Hal itu akan cenderung mengurangi ketimbang meningkatkan produktivitas. ”Kami tidak melihat basis yang kuat untuk reli dolar AS yang berkelanjutan,” tulis Ashmore dalam catatan akhir tahunnya yang dirilis di Jakarta, Senin (24/12).
Sebaliknya, Ashmore melihat mundurnya kinerja emerging market pada 2018 hanya sebagai gangguan dari kekuatan pasar yang jauh lebih kuat, yang akan menekan dolar lebih rendah pada 2019 dan seterusnya. Kekuatan tersebut berakar dari posisi beli dolar AS dan aset pasar negara maju lainnya secara berlebihan, yang dibentuk selama delapan tahun terakhir sebagai tanggapan terhadap kebijakan pelonggaran kuatitatif atau quantitative easing (QE). ”Penghentian distorsi, yang mereka sebut QE trades, kemungkinan akan membentuk arus modal di pasar global untuk tahun-tahun mendatang,” papar Ashmore. Hingga akhir tahun ini, perekonomian global tetap berhati-hati karena ketidakpastian yang disebabkan oleh agenda ”American First” yang diluncurkan AS pada awal 2018. Namun pasar modal dan mata uang negaranegara emerging market menunjukkan pemulihan dari posisi terbawah, baik di pasar modal dan mata uang, setelah munculnya kemungkinan perubahan dalam politik AS, pembicaraan yang lebih konstruktif antara AS dan Tiongkok, serta sikap bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) yang berubah menjadi dovish.
Di pasar ekuitas global, tahun ini bursa AS tetap unggul, S&P 500 turun hanya 0,9%. Sedangkan bursa saham Asia Pasifik ex Jepang terpuruk 14,2% dan zona euro terperosok 10%.
Stimulus Pajak
”Kami percaya kinerja AS yang lebih baik disebabkan oleh kebijakan stimulus pajak yang disahkan awal tahun ini, sehingga mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)- nya setinggi 4,2% di kuarta kedua 2018, sebelum melambat menjadi 3,5%. Pertumbuhan struktural seperti ini, membantu mendukung mata uangnya yang naik 5,5% sepanjang tahun ini year to date (YTD),” papar Ashmore.
Sementera itu, pasar emerging market mencatatkan penurunan terburuk, rontok 14,9% YTD. Penurunan terbesar terjadi pada kuartal kedua 2018 ketika perang dagang AS Tiongkok meningkat pada pertengahan Mei 2018, yang menyebabkan terjun bebas berbagai mata uang emerging market. Terutama negara emerging market dengan defisit transaksi berjalan yang lebar, bermasalah politik dengan AS, dan mempunyai utang luar negeri yang tinggi, seperti Turki dan Argentina. ”Indonesia tidak sedalam mereka (Turki dan Argentina-Red) karena respons kebijakan yang cepat. Untuk pertama kalinya sejak 2014 rupiah mencapai Rp 15.000 per dolar AS pada kuartal ketiga 2018,” tuis Ashmore.
Ashmore juga mencatat, terlepas dari pelemahan global dan depresiasi rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya turun sebesar 2,9% YTD, mengungguli indeks emerging market, pasar Asia Pacifik ex Jepang, dan zona euro. Sementara itu, obligasi Indonesia untuk kali pertama sejak 2016 mencapai level 8,7% pada akhir Oktober 2018 dan pada pertengahan Desember 2018 pada 8,1%. Penguatan obligasi pada awal kuartal keempat 2018 telah didorong oleh stabilitas rupiah pada level yang lebih tinggi dari Rp 14.300-14.600 per dolar AS dibanding Rp 15.100-15.200 per dolar AS pada Oktober 2018. ”Kami percaya kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor gabungan, antara lain menurunnya ketegangan perdagangan (ASTiongkok- Red),” ungkap Ashmore. (bn-46)
Berita Terkait
Loading...
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ashmore: Kinerja Pasar Modal Indonesia Tetap Kuat - Suara Merdeka CyberNews"
Post a Comment